Selasa, 17 Juni 2008

Islam itu damai dan penuh kasih sayang

Beberapa hari lalu saya sempat baca tulisan yang bagus, yang aku kira sesuai dengan firman Allah:


ثم كان من الذين آمنوا وتواصوا بالصبر وتواصوا بالمرحمة

Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.(QS.690:17)

ولا تجعلوا الله عرضة لأيمانكم أن تبروا وتتقوا وتصلحوا بين الناس والله سميع عليم

Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS.2:224)

mudah2an tulisan ini akan membawa pencerahan bagi kita semua.

Caroline, Barack Obama, dan Ahmadiyah
[Kolom, Gatra Nomor 31 Beredar Kamis, 12 Juni 2008]

Dalam sebuah diskusi terbatas di Islamic Digital Library, Yayasan Al-Ikhlas, Tanah Abang, Jakarta, akhir Mei lalu, Caroline --gadis indo yang lama tinggal di Amerika-- bertanya dalam bahasa Inggris yang native, "How about Priest in Obama's Church, Jeremiah A Wright, who said that Islam is identic with sword, war, and self bombing?" "How can we do to the Barack Obama's Priest? Caroline, gadis cantik yang semangat Islamnya menggebu-gebu itu, tampaknya mengharapkan jawaban saya yang keras dan anti-gerejanya Obama di Chicago itu.

Mendengar pertanyaan itu, saya yang jadi pembicara diskusi di kalangan terbatas pemuda-pemudi muslim Jakarta yang militan tersebut agak rikuh menjawabnya. Maklum, pada saat itu, pembicaraan para hadirin lebih banyak tertuju pada Ahmadiyah yang sesat dan kenapa Pemerintah Indonesia tak segera melarang aliran yang merusak Islam itu.

Dalam kerikuhan itu, tiba-tiba saya teringat seorang dosen bahasa Inggris asal Amerika Serikat yang mengajar di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Dosen itu, Eddy Schurr, yang datang pada 1970-an ke Yogyakarta, pernah bercerita kepada saya dan teman-teman di Yogya.

"Ketika saya datang pertama kali ke Yogyakarta, karena saya ditugasi mengajar di sebuah universitas Katolik, saya pikir, mayoritas penduduk Yogya juga beragama Katolik. Ternyata mayoritas penduduknya beragama Islam. Dan Islam dalam pikiran saya adalah pedang, kekerasan, poligami, dan ekstremisme. Itulah yang saya pahami tentang Islam karena informasi yang sampai kepada saya di Amerika tentang Islam, ya, seperti itu," katanya. Lantas?

"Ketika saya mengontrak rumah di Demangan, sebelah barat IAIN Yogyakarta," kata Eddy. "Saya kaget. Kenapa orang-orang Demangan dan tetangga saya ramah-ramah dan baik hati? Kenapa bapak-bapak di Demangan tidak melakukan poligami?" Sejak itu, tutur Eddy, "Saya mulai curiga bahwa apa yang saya pahami tentang Islam itu salah. Masyarakat Amerika, tempat saya dilahirkan, ternyata telah memutarbalikkan fakta tentang Islam dan ajaran-ajarannya."

Karena penasaran, secara otodidak Eddy mempelajari Islam. Dibacanya ayat-ayat suci Al-Quran satu per satu, lalu dia pelajari buku-buku Islam yang lain. Hasilnya? "Islam itu luar biasa. Ajarannya tentang Tuhan Yang Esa dan tidak ada tandingan-Nya mudah dipahami. Orang-orang Islam ternyata ramah, toleran, dan menghargai perbedaan," kata Eddy.

Singkat cerita, Eddy pun mengucapkan "syahadatain". Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Eddy resmi menjadi muslim dan mengganti namanya menjadi Muhammad Eddy Schurr Suryopercoyo Nurul Yaqin. Nama Muhammad dan Nurul Yaqin menjadi simbol bahwa ia benar-benar yaqin terhadap ajaran Nabi Muhammad, sedangkan Suryopercoyo ia pakai sebagai kenang-kenangan bahwa ia masuk Islam di sebuah kota pusat budaya Jawa, Yogyakarta. Istrinya pun mengikuti jejaknya.

Sejak menjadi muslim, Eddy rajin berceramah ke mana-mana, dan orang-orang tertarik oleh kisah-kisah Eddy di Amerika tentang Islam yang digambarkan sangat buruk dan bagaimana akhirnya dia memeluk Islam.

Anak-anak muda yang mayoritas berasal dari Universitas Indonesia dan jamaah Masjid Sunda Kelapa itu tampak terdiam. Mereka, saya pikir, kecewa karena tak mendapat jawaban yang keras dari saya terhadap pertanyaan Caroline.

"Coba bayangkan, Saudara-saudara. Seandainya orang-orang Yogya itu tukang buat onar, istrinya dua, dan sangar, mungkinkah Eddy masuk Islam?" tanya saya, sambil membayangkan sekelompok umat Islam yang marah dan merusak rumah-rumah orang-orang Ahmadiyah.

Orang-orang non-Islam --apa itu dari Cina, Amerika, atau Jepang-- tak tahu apa itu Ahmadiyah. Mereka juga tidak peduli apa itu ajaran Mirza Ghulam Ahmad. Yang mereka tahu, syahadat orang-orang Ahmadiyah sama dan salatnya pun sama dengan orang-orang Islam di masjid mana pun di seluruh dunia. Jika orang-orang non-Islam tahu, orang-orang yang syahadat dan salatnya sama tapi mengaku Ahmadiyah atau mendukung Ahmadiyah digebuki seperti di Monas, awal Juni lalu, dan rumah mereka dirusak seperti di Lombok dan Kuningan, Cirebon, lalu apa yang mereka pikirkan tentang Islam?

Ternyata cerita saya tentang rumah-rumah orang-orang Ahmadiyah yang dirusak di Lombok dan Kuningan itu mengusik perasaan Gayatri. Gadis Minang ini berkata, "Orang Islam di daerah saya tidak seperti itu. Saya lahir dan besar di Padang, Sumatera Barat, di tanah kelahiran ulama besar Buya Hamka. Saya tak pernah sekali pun melihat orang Islam di Padang bertengkar dengan orang-orang Ahmadiyah. Masjid orang Ahmadiyah berdampingan dengan masjid orang Muhammadiyah dan orang NU. Mereka saling menghormati."

Lalu Gayatri pun bertanya, kenapa orang-orang Islam di Padang tidak pernah mengusik orang-orang Ahmadiyah, dan mereka menghormatinya? Sebuah pertanyaan yang patut kita renungkan bersama.

Tapi, yang jelas, ulama sekaliber A. Hasan, Buya Hamka, dan Kiai Haji Wahid Hasyim, yang pernah berdialog dengan tokoh-tokoh Ahmadiyah di zamannya dan tidak setuju dengan ajaran Ahmadiyah, tidak pernah mengutuk dan tidak pernah menuntut pemerintah untuk melarang Ahmadiyah, yang sekarang pengikutnya ramai-ramai "digebuki" itu.

M. Bambang Pranowo
Guru besar sosiologi agama UIN, Jakarta

Selasa, 03 Juni 2008

Kekerasan atas nama Agama

Dalam beberapa bulan ini banyak kejadian yang sungguh membuatku pening. Aku tak tahu apakah karena pemahamanku terhadap apa yang aku yakini yang semakin menipis ataukah berita-berita itu memang dibuatNYA agar aku semakin merenungi apa arti hidup dan kehidupan ini yang sebenarnya....
Banyak orang suka menumpahkan darah orang lain dan yang aku tidak bisa berkata-kata adalah ketika mereka menumpahkan darah orang lain dengan alasan "membela Islam" agama yang aku yakini....
Apakah mereka memang telah disuruhNYA untuk memerangi saudara-saudaranya yang sama sama satu negara, atau sama sama keturan Nabiullah Adam AS.....

لا ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم في الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم وتقسطوا إليهم إن الله يحب المقسطين

"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil".(QS.60:8)

Entahlah....

tapi mungkin tulisan Uztad Ahmad Syafii Maarif ini ada baiknya untuk kita renungkan:



Kekerasan Atas Nama Agama




Tindakan kekerasan, brutalitas, bahkan peperangan atas nama agama bukan barang baru dalam sejarah peradaban (kebiadaban) manusia. Pelaku tindakan ini merasa paling beriman di muka bumi. Karena menganggap diri sebagai makhluk agung di antara manusia, mereka mengangkat dirinya sebagai orang yang paling dekat dengan Tuhan.

Karena itu, mereka berhak memonopoli kebenaran. Seakan-akan mereka telah menjadi wakil Tuhan yang sah untuk mengatur dunia ini berdasarkan tafsiran monolitik mereka terhadap teks suci. Perkara pihak lain akan mati, terancam, binasa, dan babak belur akibat perbuatan anarkis mereka, sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Inilah jenis manusia yang punya hobi "membuat kebinasaan di muka bumi", tetapi merasa telah berbuat baik.

Seorang Presiden, George W. Bush, penganut Kristen puritan fundamentalis telah memakai agama untuk menghancurkan bangsa lain yang tak berdaya dengan seribu dalih. Perkembangan terakhir menunjukkan semakin banyak tentara Amerika yang bunuh diri karena diimpit suasana putus asa: perang di Afghanistan dan Irak tidak kunjung usai. Mereka memilih mati berkalang tanah daripada hidup becermin mayat. Itu belum lagi yang menjadi gila, rusak ingatan akibat perang yang dipaksakan. Bush dan para pendukungnya yang haus darah tidak hirau dengan semuanya ini.

Sementara itu, di kalangan segelintir Muslim, termasuk di Indonesia yang berkoar anti-Barat, atas nama agama telah membencanai tempat-tempat ibadah, perkantoran, bahkan rumah-rumah mereka yang berbeda agama atau mereka yang dianggap sesat dengan menggunakan fatwa MUI. Para pengrusak ini dari sudut pandang sistem nilai tidak banyak berbeda dengan Bush yang secara lahiriah ditentang oleh mereka. Di sinilah ironi itu berlaku. Dalam retorika politik, mereka seperti bermusuhan. Tetapi, dalam kelakuan, mereka bersahabat. Bedanya, Bush merusak dalam skala besar dengan persenjataan modern, sedangkan mereka dalam skala kecil, seperti dengan memakai pentungan, golok, linggis, dan lain-lain. Sementara itu, aparat seperti tidak mampu menghalangi mereka.

Dengan mengatakan demikian, anda jangan salah paham bila dikaitkan dengan paham Ahmadiyah yang jadi berita besar sekarang ini. Secara teologis, saya menolak 200 persen pendapat yang mengatakan bahwa ada nabi pasca-Muhammad, sekalipun katanya tidak membawa syariat. Jika memang begitu, mengapa harus dihadirkan nabi baru? Di sinilah saya gagal memahami kehadiran aliran Ahmadiyah. Mengapa tidak kembali saja kepada ajaran Islam semula. Adapun jika Ghulam Ahmad dipercayai sebagai pembaru, mungkin masalahnya tidak menjadi ruwet, sekalipun sebagian besar umat Islam tidak mengakuinya.

Sepanjang sejarah Islam selama sekian abad, umat yang percaya kepada kemunculan pembaru bukan barang baru, tetapi hanya sebagian tokoh yang memercayainya. Dengan pernyataan ini, posisi saya tentang Ahmadiyah sudah sangat gamblang. Memang dalam beberapa hadis dikatakan tentang akan turunnya nabi Isa sebelum kiamat. Dan katanya, Ghulam Ahmadlah orangnya.

Saya sungguh berharap agar hadis-hadis serupa ini diteliti kembali, sebab implikasinya sangat dahsyat. Maksud saya, jika Isa masih harus turun kembali, berarti misi Muhammad gagal. Saya tidak percaya bahwa nabi Isa masih hidup, karena dia adalah manusia biasa yang atas dirinya berlaku sepenuhnya hukum alam: lahir, dewasa, tua, dan mati. Tetapi, Alquran membantah bahwa kematian nabi Isa karena disalib. Masalah ini biarlah tidak diperdebatkan panjang-panjang, sebab saudara-saudara Kristen kita memercayai bahwa Isa mati di kayu salib. Kita tidak perlu memasuki teologi mereka.

Kembali kepada masalah kekerasan atas nama agama. Saya akan membela sepenuhnya posisi Ahmadiyah jika mereka dizalimi, hak milik mereka dirampok, dan keluarga mereka diusir. Ini perbuatan biadab karena pengikut Ahmadiyah itu punya hak yang sama dengan warga negara Indonesia yang lain menurut konstitusi Indonesia. Jika mereka dizalimi, aparat dan kita semua wajib melindungi mereka. Bahkan, seorang warga negara Indonesia penganut ateisme, tetapi patuh kepada UUD, tidak ada hak kita untuk membinasakan mereka. Kita bisa bergaul dengan mereka dalam masalah-masalah keduniaan. Mereka juga punya hak hidup dengan ateismenya.

Di sinilah pentingnya kita memahami secara jujur diktum Alquran dalam Albaqarah ayat 256, "Tidak ada paksaan dalam agama." Jika Tuhan tidak mau memaksa hambanya untuk memeluk atau tidak memeluk agama, mengapa kita manusia mau main paksa atas nama Tuhan? Sikap semacam inilah yang bikin kacau masyarakat. Oleh karena itu, Alquran jangan dibawa-bawa untuk menindas orang lain. Kekerasan atas nama agama adalah pengkhianatan yang nyata terhadap hakikat agama itu sendiri.
( Ahmad Syafii Maarif )